Sabtu, 11 Februari 2012

Yang Paling Indonesia, Ya Gegar Budaya!


Kalau bicara tentang hal apa yang “Paling Indonesia”, fenomena gegar budaya alias ‘culture shock’ adalah yang paling mewakili kondisi saat ini. Apapun yang dianggap unik dan menarik, tidak memerlukan waktu lama untuk menjadi heboh.
Fenomena gegar budaya ini tidak hanya terjadi di bidang media sosial saja, tapi hampir di semua bidang. Sebut saja booming distro, penggunaan RBT, band indie, fotografi, trend berburu kuliner, BlackBerry, sampai yang terbaru saat ini adalah sepeda fixie. Untuk media sosial, gegar budaya yang sempat terjadi adalah Friendster, Facebook dan Twitter.
Untuk media sosial, eksistensi Indonesia tidak perlu diperdebatkan lagi. Hingga saat ini Indonesia adalah negara dengan peringkat kedua pengguna Facebook terbanyak dengan lebih dari 36 juta user , yang tercatat dalam situs socialbakers.com. Peringkat pertamanya tentu saja diduduki oleh Amerika Serikat.
Pada media sosial Twitter, Indonesia juga termasuk salah satu negara yang banyak mendapat sorotan. Memang hampir tidak ada catatan resmi tentang peringkat negara dengan user terbanyak, karena pihak Twitter sendiri terlihat sangat tertutup dengan masalah ini. Tapi, banyak dan aktifnya user Twitter di Indonesia terbukti dengan seringnya Indonesia masuk ke dalam “Trending Topic”. Bahkan Ariel Peterpan pun bisa ‘mendunia’ lewat Twitter, meskipun tidak dalam konteks yang baik.
Memang fenomena Twitter di Indonesia belum seperti Facebook. Namun,trend penggunaan jejaring sosial ini di Indonesia masih sangat berpotensi untuk berkembang. Kenapa? Karena dalam siklus gegar budaya, penggunaan Twitter ini masih berada pada tahap awal. Untuk penjelasan lengkapnya, akan saya jelaskan pada bagian tulisan di bawah ini.

Siklus Gegar Budaya, Dari ‘Cult’ Menuju ‘Alay’
Fase pertama: Rintisan
Pada tahapan ini segelintir orang mulai menemukan suatu hal yang unik, dan mulai menggunakannya sehingga mereka terlihat berbeda dan menonjol dibandingkan orang lain pada umumnya. Mereka melakukan gebrakan untuk mendobrak hal-hal umum yang sudah menjadi kebiasaan. Apa yang digemari oleh para perintis ini kemudian menjadi ‘cult’ karena di luar kebiasaan dan masih dianggap aneh oleh masyarakat umum. Dan bagi anak muda, menjadi berbeda dengan orang kebanyakan itu identik dengan kata ‘keren’.
Fase Kedua: Berkembang
Seiring berjalannya waktu, sesuatu yang awalnya menjadi ‘cult’ itu pada akhirnya mulai diterima oleh masyarakat. Akibatnya, makin banyak orang yang penasaran dan tertarik untuk ikut mencoba sesuatu yang dianggap ‘cult’ itu. Tentu dengan diiringi harapan bahwa dengan mengikuti hal-hal yang ‘cult’ tersebut akan membuat mereka ikut  terlihat keren.
Fase Ketiga: Booming
Karena semakin banyak orang yang mengikuti hal yang tadinya ‘cult’ itu, pada akhirnya terjadi booming besar-besaran. Karena booming itulah hal yang tadinya ‘cult’ dan eksklusif tersebut akhirnya berubah menjadi trend yang diikuti semua orang. Lalu semuanya mulai terbagi menjadi 2 kategori. Yang ‘normal’ karena menggunakannya dengan wajar dan yang ‘alay’ karena hanya sekedar ikut-ikutan.
Fase Keempat: Breakdown
Akhirnya, trend mulai meredup dan perlahan-lahan ditinggalkan. Pada tahap ini orang-orang ‘cult’ yang menciptakan trend tersebut mulai berpindah ke hal lain yang mereka anggap lebih menarik, dan menciptakan calon trend yang baru. Lalu, orang-orang yang lain akan mengikuti hal ‘cult’ baru yang muncul, sehingga akhirnya memulai siklus yang sama.
*Untuk definisi ‘cult’ dan ‘alay’ silakan cari sendiri di Google, karena kalau saya jelaskan disini nanti jadi terlalu panjang tulisannya.
Kalau tidak percaya dengan pemaparan di atas, anda tidak usah susah-susah menghubungi saya untuk bertanya. Anda tinggal melihat saja lingkungan sekitar, teman-teman dan keluarga anda. Membuktikannya sangat mudah. Anda punya akun Facebook? Jika ya, saya sangat yakin salah satu dari sekian banyak alasan anda membuat akun tersebut adalah karena diajak atau ikut-ikutan teman anda. Kalau anda malu mengakuinya, di dalam hati juga cukup kok.
Haruskah Kita Bangga? Tentu Saja!
Sekarang pertanyaannya adalah, apa kita layak membanggakan fenomena gegar budaya ini? Ya, sudah tentu kita harus bangga. Terutama untuk booming penggunaan internet dan media sosial. Penggunaan media sosial , terutama Twitter, secara tidak langsung memperkenalkan Indonesia ke mata dunia. Pengguna Twitter dunia telah mengetahui apa yang terjadi di Indonesia melalui hashtag-hashtag seperti #indonesiaunite, #prayforindonesia #timnasgaruda sampai #peterporn.
Memang, tidak semuanya dalam konteks yang baik. Tapi pengaruhnya sangat besar. Bahkan seorang Bruce Dickinson, vokalis band legendaris Iron Maiden, bisa mengetahui kasus yang menimpa Ariel Peterpan . Belum lagi bintang porno Vicky Vette yang rajin mengikuti isu-isu yang sedang hangat di Indonesia. Bahkan ia sampai membuat akun di KasKus, salah satu forum online terbesar di Indonesia. Ini adalah bukti nyata kekuatan pengaruh dari internet dan media sosial.
Karena gegar budaya internet dan media sosial, dunia bisa mengenal Indonesia dengan lebih jauh. Mari kita memanfaatkannya untuk memperkenalkan hal-hal yang baik tentang Indonesia kepada dunia.


Sumber: Kompasiana

Transportasi Udara Bisnis Penerbangan Optimistis Meningkat


Bisnis Penerbangan Optimistis Meningkat
udayrayana.blogspot.com
JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional (Inaca) optimistis angkutan penerbangan nasional tetap diminati masyarakat walau baru-baru ini muncul kasus pilot salah satu makapai penerbang menggunakan narkoba.


Ketua Umum Inaca Emirsyah Satar menegaskan kasus tersebut belum memberikan dampak signifikan terhadap prospek industri penerbangan Indonesia yang tetap cerah.


"Asalkan ada kerja sama semua pihak, termasuk pemerintah dan maskapai, yang memberikan sanksi tegas terhadap oknum-oknum indisipliner tersebut," katanya di Jakarta, Jumaat (10/2).


Diharapkannya, kasus tersebut jangan dianggap sebagai gambaran umum gaya hidup seluruh awak pesawat. Pasalnya, awak pesawat adalah ujung tombak industri penerbangan yang menjunjung tinggi profesionalisme dan dituntut untuk selalu berdisplin.


Inaca sebagai sebuah asosiasi juga tidak memiliki hak untuk memberikan sanksi karena tugas mereka hanya sebagai sebuah pemberi masukan kepada pihak regulator, yakni pemerintah.


"Sebagai asosiasi kami menyesalkan tindakan yang tidak bertanggung jawab oknum kru pesawat yang telah menyalahgunakan obat-obat terlarang sehingga menimbulkan keresahan di kalangan para pengguna jasa transportasi udara," katanya.


Lisensi Dicabut
Sementara itu, Sekjen INACA Tengku Burhanuddin meminta regulator mencabut lisensi pilot yang menggunakan narkoba. "Penggunaan narkoba oleh para kru pesawat menunjukkan peredaran narkoba merupakan masalah nasional yang seharusnya pemberantasannya tidak hanya dibebankan kepada maskapai," ungkapnya.


Menurut Burhanuddin, pencabutan lisensi terbang bisa menjadi hukuman yang cukup berat bagi pilot bersangkutan. Untuk menimbulkan efek jera, INACA selaku asosiasi maskapai penerbangan nasional akan selalu menginformasikan kepada maskapai agar pilot-pilot yang mengunakan narkoba tidak dapat diterima di maskapai lainnya.


"Kami kira dengan dicabut lisensi terbangnya, sekaligus di-black list di perusahaan penerbangan mana pun, akan membuat para pilot berpikir ulang untuk menggunakan narkoba karena tindakan ini berlaku umum di negara mana pun," katanya.


Secara terpisah, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemenhub Bobby Mamahit menduga siswa-siswi calon pilot bisa terpengaruhi efek buruk narkoba saat mendapatkan hari libur selama beberapa hari di lingkungan masyarakat.


"Ada dua hari waktu yang diberikan untuk bergaul ke masyarakat. Di situ mereka bisa saja kena dampak buruk dari masyarakat, seperti narkoba, rokok. Itu merupakan bentuk dari gaya hidup," ujarnya.


Bobby mengatakan para taruna dan taruni berada di dalam asrama selama lima hari dengan pengawasan yang ketat dari pembina. Kadang kala pihak sekolah pun melakukan pemeriksaan secara mendadak ke kamar-kamar para siswa.


Diungkapkannya, sebenarnya yang mudah stres itu petugas air traffic control (ATC) di Bandara Soekarno-Hatta yaitu 100 petugas menangani 2.000 gerakan pesawat. "Bayangkan saja itu ada 20 pesawat yang ditangani 1 orang. Tentu lebih sulit daripada pilot yang konsentrasinya hanya tertuju pada 1 pesawat," katanya.dni/E-12

Penurunan BI Rate I Deposan Kakap Terus Dimanjakan Bunga Tinggi Nikmati Bunga Obligasi Rekap, Bank Abaikan Kredit

Nikmati Bunga Obligasi Rekap, Bank Abaikan Kredit
id.ibtimes.com
Bank memilih mempertahankan obligasi rekap karena keuntungannya besar
JAKARTA - Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI Rate tidak serta-merta bakal diikuti dengan penurunan suku bunga pinjaman perbankan. Pasalnya, sejumlah bank besar telanjur nyaman menikmati keuntungan dari pendapatan kupon obligasi rekapitalisasi eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau obligasi rekap yang diberikan pemerintah sekitar 13,175-14,275 persen per tahun.


Oleh karena itu, bank yang menghimpun dana masyarakat tersebut enggan menjalankan fungsi utama sebagai penyalur kredit untuk menggerakkan sektor riil. Mereka lebih menikmati subsidi bunga dari APBN dari instrumen yang bebas risiko ketimbang mengucurkan kredit ke masyarakat yang dianggap lebih berisiko.


"Dibandingkan dengan BI Rate, kupon obligasi rekap yang diberikan pemerintah sangat tinggi. Makanya bank memilih mempertahankan obligasi ini karena keuntungannya besar daripada menyalurkan kredit dengan bunga menyesuaikan BI Rate," kata ekonom dari Indef, Enny Sri Hartati, di Jakarta, Jumat (10/2).


Seperti diketahui, obligasi rekap adalah warisan lama ketika BI menyuntikkan dana lewat BLBI untuk menalangi perbankan saat menghadapi krisis pada 1998. Sejumlah bank besar kemudian diselamatkan melalui surat utang itu dengan tenor hingga 20 tahun tanpa ada pasar yang berminat.


Sejak 2003, bank pemilik obligasi rekap menikmati keuntungan hanya dari penghasilan bunga obligasi negara. Pada tahun itu, APBN harus membayar bunga sekitar 31,55 triliun rupiah terhadap sisa obligasi rekap yang masih dipegang perbankan, sekitar 319,33 triliun rupiah.


Tanpa bunga obligasi negara itu, Bank Mandiri, Bank Central Asia, BNI, BRI, BTN, Bank Lippo, dan Bank Danamon, pada semester I-2003 saja langsung merugi. Dengan demikian, keuntungan yang dibukukan saat itu dinilai semu. Hal itu berarti bank-bank besar itu disubsidi oleh rakyat pembayar pajak lewat APBN. Hingga tahun lalu, Bank Mandiri yang memiliki obligasi rekap 77 triliun rupiah masih menikmati pendapatan kupon cukup signifikan, begitu juga BRI yang memegang obligasi rekapitalisasi 13,6 triliun rupiah dari total obligasi pemerintah yang dimilikinya sebesar 20 triliun rupiah.


Masyarakat harus membayar bunga obligasi rekap hingga jatuh tempo pada 2033 yang nilai akumulatifnya bisa mencapai sekitar 450 triliun rupiah. Pada 2000, APBN mengalokasikan 38 triliun rupiah untuk membayar bunga obligasi rekap. Tahun 2008, dianggarkan lebih besar lagi, tidak kurang dari 60 triliun rupiah.


Kredibilitas Hilang
Menanggapi keengganan perbankan menurunkan bunga kredit, Enny menilai saat ini bank sentral kehilangan kredibilitas di hadapan perbankan. Bahkan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tidak bersedia menurunkan suku bunga penjaminan. "Kalau dulu masih signifikan. Ketika BI Rate turun, suku bunga kredit juga turun. Tapi saat ini, tidak ada bank yang menurunkan suku bunga kreditnya," jelas dia.


Karena itu, dia menyarankan pemerintah dan BI berkoordinasi dengan baik agar tidak menimbulkan kekisruhan di pasar. "Kebijakan itu sebenarnya harus berkaitan dengan keefektifan dari kebijakan moneter dan dukungan kebijakan fiskal. Kalau sekarang, BI Rate ini referensinya dari inflasi, sementara inflasi itu tidak saja karena demand, tetapi juga didorong oleh sisi supply," jelas Enny.


Sementara itu, Gubernur BI Darmin Nasution menjelaskan penurunan BI Rate bukan satu-satunya faktor yang bisa menurunkan lending rate atau bunga pinjaman. "Itu hanya satu faktor. Kita juga akan melakukan pembahasan rencana bisnis bank," kata dia.


Selain membahas rencana bisnis bank, saat ini BI tengah melakukan pembicaraan terkait penurunan suku bunga kredit dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Keuangan. Sebelumnya, Darmin juga mengakui bank yang menyimpan obligasi rekapitalisasi cenderung malas menyalurkan kredit karena terbuai dengan keuntungan kupon yang diberikan pemerintah.


Padahal, obligasi rekap itu membebani mereka, terutama bank-bank BUMN. Mereka menjadi kurang kompetitif dibandingkan bank yang tanpa obligasi rekap cukup besar di dalam neracanya. Menurut peneliti ekonomi LIPI, Latif Adam, perbankan akan berhitung lebih jauh jika harus menurunkan suku bunga kredit, yang sekaligus diikuti dengan penurunan bunga deposito. "Pasalnya, nasabah kakap akan mencari alternatif lain yang menguntungkan jika bank menurunkan suku bunga deposito. Hal ini yang dikhawatirkan oleh bank," jelas dia. fan/lex/yok/WP