Rabu, 22 September 2010

HENDARMAN DIBENCI, HENDARMAN DICARI

Hendarman Supandji
Persaingan memperebutkan posisi Jaksa Agung berlangsung ketat. Delapan (8) pejabat karier di Kejakasaan Agung akan beradu dengan calon dari luar gedung bundar. Sementara sisi lain, semangat mempertahankan Hendarman Supandji juga demikian kuatnya. Siapa yang bakalan menang?

Naskah: Alex Marten Jeramun
Usia kedinasan Jaksa Agung Hendarman tinggal menghitung hari. Pada Oktober 2010 nanti, masa pengabdian lelaki kelahiranKlaten, Jawa Tengah, 6 Januari 1947 ini berakhir alias harus pensiun. Itu artinya, korps gedung bundar ini akan memimiliki pemimpin baru. Namun siapa kandidat yang bakalan memimpin Korps Adhyaksa ini, belum jelas.
Memang, wacanauntuk menggantikan Hendarman sudah lama disuarakan. Namun hingga kini, Jaksa Agung itu belum juga diganti. ICW, misalnya, berkali-kali mendesak agar Hendarman diganti. Bahkan baru-baru ini Presiden memberi sinyal untuk melakukan penggantian. Tetapi, bagi pemerintahan SBY, posisi Hendarman antara dibenci dan dicari. Di mata para lawan politik SBY, kinerja Hendarman menuai sejumlah kritik. Di sisi lain, di bawah kepemimpinan Hendarman, posisi SBY aman. Hendarman adalah sosok aparat penegak hukum yang sangat menjaga sopan santun. Bicaranya santun dan tidak ceplas ceplos. Dia sangat melindungi kepentingan atasannya (SBY). Ini menjadi alasan untuk mempertahankan kursiJaksa Agung bagi Hendarman.
Masa depan Hendarman memang masih simpang siur. Ada yang menyebutkan, Hendarman bakalan diganti. Namun ada pula yang ingin mempertahankannya hingga usai KIB II ini. Gerakan mempertahankan alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini mulai dirancang.
Akan tetapi Hendarman sendiri enggan berspekulasi akan masa depannya. Dengan nada diplomasi, Hendarman menyerahkan nasibnya kepada Presiden. Karena kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung adalah hak prerogative presiden. Namun jaksa karier ini , meminta penerusnya adalah sosok yang berani dalam menjalankan tugas penuntutan. Pengganti itu haruslah pejabat karir dari internal kejaksaan. "Kalau pejabat karir itu kan tentunya sejak awal sudah melalui suatu proses panjang pendidikan jaksa,"" paparnya. Meski tak punya calon jago, Hendarman menginginkan penggantinya yang baru berasal dari jaksa karier. "Kalau saya menginginkan dari karier. Karena karier itu sejak awal susah melalui proses jenjang pendidikan jaksa, kemudian juga melalui proses yang panjang," ujarnya.
Pejabat karir tersebut, lanjut Hendarman, bisa berasal dari yang saat ini sudah memiliki jenjang kepangkatan eselon I. Namun, lagi-lagi dia enggan menyebutkan nama. "Tentunya bagi eselon I dan ada fit and proper test. Kan ada delapan (eselon I),"" ujar mantan ketua Timtastipikor tersebut.
Jabatan eselon I di kejaksaan adalah wakil jaksa agung, enam JAM, dan seorang staf ahli. Wakil jaksa agung saat ini diduduki Darmono. Sementara itu, enam JAM tersebut adalah JAM Pidsus M. Amari, JAM Was Marwan Effendy, JAM Intelijen Edwin Pamimpin Situmorang, JAM Pidum Hamzah Tadja, JAM Pembinaan Iskamto, serta JAM Datun Kamal Sofyan. Hendarman boleh saja menjagokan anak buahnya di gedung bundar. Namun dari eksternal juga muncul sejumlah tokoh yang layak menjadi Kejaksaan AGung. Mereka antara lain, Adnan Buyung Nasution, Jimly Asshiddiqie, Todung Mulya Lubis, Hikma­hanto Juwana, Saldi Isra, Busyro Muqoddas dan Bambang Wijoyanto.
Busro dan Bambang bahkan sudah mendapat restu politik dari Senayan, meski dukungan tersebut lebih bersifat personil. “Atas nama pribadi saya melihat kedua nama tersebut memiliki kepatutan, kecocokan, dan kepantasan untuk menduduki jabatan Jaksa Agung," kata Wakil Ketua DPR, Pramono Anung.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak perlu mencari pengganti Hendarman sebagai jaksa agung, tetapi cukup memilih kandidat Ketua Komisi Pemberantan Korupsi (KPK) yang tidak dipilih DPR. "Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto sama-sama punya modal kuat benahi institusi kejaksaan," ujar politisi PPP Lukman Hakim Saefuddin.
Membenahi internal Kejagung memang bukan perkara sederhana. Karena itu, Jaksa Agung pengganti Hendarman harus berasal dari luar kejaksaan atau bukan jaksa karier untuk mereformasi institusi penegak hukum tersebut. “Jaksa agung dari jaksa karier terbukti kinerjanya lebih buruk, sebagai contoh Hendarman Supandji.
Terlihat, tidak adanya perubahan dalam tubuh kejaksaan dan banyak program reformasi yang tidak jalan,” tutur Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki.
Teten menyatakan, tugas jaksa agung amat penting untuk mereformasi kejaksaan. Sehingga, sangat tidak mungkin dilakukan apabila jaksa agung berasal dari internal kejaksaan karena berpotensi menimbulkan benturan kepentingan. “Sebaiknya calon jaksa agung mendatang harus berasal dari luar Korps Adhyaksa yang tidak memiliki konflik kepentingan, berani, kuat, memiliki komitmen tinggi dan berani melakukan perubahan,” ucapnya.

Jaksa Berkualitas
Alih-alih mendukung calon dari luar, Prof Dr Topane Gayus Lumbuun justru berpandangan lain. Politisi dari partai oposisi ini justru mendukung kalau Jaksa Agung diambil dari internal.
Jaksa Agung dari internal akan lebih memahami karakter tugas Kejaksaan. Sedangkan nonkarier sebaiknya mengisi jabatan dilembaga penegak hukum independen. Pengalaman beberapa kali Kejaksaaan dipimpin orang luar Kejaksaan tidak membawa perubahan dan tidak bisa mengatasi masalah pembenahan internal. Karena tidak mendapat dukungan internalnya. "Saya melihat masih banyak kader di Kejagung yang berkualitas dan mampu. Para kader inilah diharapkan bisa mengisi.
Kalau dari luar, pertama harus belajar lagi. Kalau dari partai politik lebih mengkuatirkan lagi. Nanti akan diboncengi kepentingan politik. Karena itu saya mengharapkan teori yang saya gunakan adalah teori membangun suatu sistem dengan mengedepankan fungsional dan struktural," jelasnya.
Dia mengaku banyak usulan agar Jaksa Agung diisi orang luar. Akan tetapi dikhawatirkan, usulan-usulan yang tidak memperhatikan peran struktural dan fungsional permanen justru mencari kesempatan karena menentukan Jaksa Agung adalah domain presiden.
Bagi Gayus, kondisi Kejaksaan saat ini memerlukan pemimpin yang bisa membenahi internalnya. Tetapi bukan berasal dari luar institusi Kejaksaan. Merekrut Kejaksaan dari luar memerlukan waktu yang sangat lama untuk pengenalan karakter lembaga Kejaksaan yang telah memiliki struktur dan fungsi yang permanen.
Desakan dari unsure luar Kejaksaan adalah bentuk kepentingan yang perlu diamati karena menentukan Jaksa Agung adalah kewenangan Presiden. “Pengalaman menunjukkan bahwa orang luar juga tidak menjamin penegakan hukum menjadi lebih baik di negeri ini, malahan sebaliknya lebih buruk,” katanya.
Secara normal prosesnya dipilih sesuai kemampuan dan track record kariernya. Saat ini, politisi PDI Perjuangan ini menilai, Kejaksaan Agung sudah memiliki aspek-aspek fungsional dan struktural. Yang perlu dilakukan saat ini, sambungnya, hanya tinggal membenahi kultur di Kejaksaan saja. Setelah itu terpenuhi, barulah kemudian membangun sarana prasaran dan melakukan reformasi internal. "Saya lebih sreg kalau calon dari dalam. Ini lebih efektif karena lebih mengetahui apa yang terjadi di internal mereka terutama memotong atau memberantas praktek mafia yang ada di internal Kejagung," ujar anggota Komisi III asal Fraksi Partai Amanat Nasional, Yahdil Abdi Harahap.

Dipuji dan Dicaci
Semangat menggusur Hendarman kian menguat. Namun keinginan mempertahankan Hendarman juga sangat luar biasa. “Masa jabatan jaksa agung dibatasi oleh hak prerogative presiden. Bila Pak Hendarman (jaksa agung) masih sangat dinilai layak, bisa saja diteruskan sampai akhir (Kabinet Indonesia Bersatu II). Kalau menurut pandangan beliua perlu diganti, ya diganti, Kebetulan saja waktunya hampir bersamaan (dengan Kapolri dan Panglima TNI),” jelas anggota Komisi III DPR Ahmad Rubaie.
Meski demikian, jaksa agung bukan anggota kabinet. Tapi pejabat yang diberikan wewenang dalam bidang penegakan hukum. Dan untuk menentukan siapa yang akan menggantikan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung, dia menyarankan, Presiden SBY lebih mengutamakan dari internal Kejaksaan sendiri atau anak buah Hendarman bukan dari luar. “Sebaiknya yang dipilih Presiden itu jaksa karir. Karena jaksa agung, tugasnya bukan hanya penegakan hukum, tetapi juga diberikan tugas mengembangkan organisasi Kejaksaan. Sehingga jaksa agung yang baru sudah tahu problem dan tahu pula cara mengatasinya,” jelasnya.
Layakah Hendarman dipertahankan? Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho, menilai kinerja Kejagung dibawah Hendarman belum menunjukkan prestasi yang membanggakan. Bahkan beberapa kasus terkait korupsi belum jelas penanganannya. “Enggak ada prestasi luar biasa. Prestasinya biasa-biasa saja,” tutur Emerson.
Salah satu yang disoroti Emerson adalah penangangan kasus dugaan penyuapan yang melibatkan dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.“Justru Kejaksaan dianggap sebagai pihak yang melemahkan KPK. Kasus Bit-Chan, sebenarnya solusinya deponeering. Kenapa enggak diambil,” ucap Emerson.
Selain itu, lanjut Emerson, kredibilitas Kejagung dalam menangani kasus korupsi
juga dipertanyakan terkait dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).“Kasus korupsi, yang terbaru Kementerian Luar Negeri. Ada indikasi bahwa Kejaksaan lebih memetieskan kasus-kasus korupsi daripada memprosesnya,” tutur Emerson.
Emerson menyoroti, belum menonjolnya prestasi Kejagung tidak terlepas dari
kepemimpinan Jaksa Agung. Menurut catatannya, tidak ada yang menonjol selama Kejagung dipimpin Hendarman. “Di bawah Hendarman kredibilias menurun. Sejauh ini kan enggak muncul, seperti soal kasus Urip Trigunawan. Kami enggak ada harapan kepada Kejagung. Ini masalah leadership,” tandasnya.
Sayangnya, ICW sendiri tidak memiliki kandidat yang layak menjadi Jaksa Agung.

Politisasi Kasus Mirandagate

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan secara massal 26 tersangka baru dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan/pemberian travellers cheque (TC) anggota DPR RI periode 1999-2004. Anehnya, KPK belum juga menyentuh sumber semua aib ini yakni sang pemberi suap dan penyandang dana.

Naskah: Alex Marten Jeramun
Membongkar kasus korupsi di Indonesia tidak semudah membalikan telapak tangan. Pasalnya, korupsi di Indonesia sudah masuk kategori korupsi akut. Sehingga untuk membongkarnya dibutuhkan energy extra. KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi juga merasakan betapa tidak mudahnya membasmi korupsi. Apalagi muncul gerakan perlawanan dari para koruptor yang sempat membuat KPK babak belur. Dampaknya, lembaga yang bermarkas di Jl Rasusa Said, Kuningan ini sempat kehilangan legitimasi. Bahkan pernahdicap macan ompong.
Serangan demi serangan ke KPK ini membuat banyak kasus korupsi yang terbengkelai. Salah satu kasus yang nyaris tenggelam adalah kasus dugaan suap dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI).
Bayangkan saja, butuh waktu 8 tahun bagi KPK untuk menjerat para anggota DPR RI periode 1999-2004 yang diduga terlibat suap. Kini, KPK kembali berdiri tegak, meski masih sulit diramalkan seperti apa ending dari kasus travellers cheque. Tetapi paling tidak, sejauh ini, lembaga pemberantasan korupsi ini kembali memperlihatkan taringnya. Simaklah apa yang dilakukan KPK pada awal September 2010 ini. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 26 anggota DPR menjadi tersangka baru secara massal oleh KPK setelah menjebloskan empat anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 (Dudhie Makmun Murod (PDI Perjuangan), Endin Soefihara (PPP), Hamka Yandhu (Golkar), dan Udju Djuhaeri (TNI/Polri)) ke penjara.
Gebrakan KPK ini patut dicatat dengan tinta emas. Karena inilah pertama kalinya, KPK berani menetapkan secara masal 26 anggota DPR sebagai tersangka kasus dugaan suap.
Dalam catatan kasus korupsi sebelumnya, belum pernah terjadi pelaku dugaan korupsi ditetapkan sebagai tersangka dalam jumlah yang banyak. Ke-26 anggota dewan itu sebagian terbesar anggota Komisi IX DPR (bidang keuangan), 14 anggota F-PDI Perjuangan, 10 Golkar, dan 2 F-PPP. Para tersangka itu diduga menerima suap dalam pemilihan DGS BI Miranda Swaray Goeltom pada Juni 2004. Dalam pemilihan itu, Miranda mendapat 41 dari 52 suara anggota Komisi IX DPR. Miranda terpilih menggantikan Anwar Nasution.
Dana yang mengalir ke Komisi IX DPR itu mencapai Rp24 miliar dalam bentuk 480 lembar cek perjalanan. Dalam persidangan, terungkap bahwa cek perjalanan diterima dari Arie Malangjudo,
orang kepercayaan Nunun Nurbaeti, seorang pengusaha. Nunun berkali-kali dipanggil hakim dalam persidangan, tapi istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun itu tidak hadir karena sakit.
Kuasa hukum Nunun Nurbaeti, Partahi Sihombing beralasan, kliennya sedang sakit dan tengah menjalani perawatan di Singapura. "Bukan menolak panggilan, tapi tidak mampu untuk didengar keterangannya. Belum bisa karena masih dalam perawatan," tandas Partahi
Kasus cek perjalanan pertama kali dilaporkan kader PDI Perjuangan Agus Condro Prayitno ke KPK pada Juli 2008. Agus mengaku menerima cek perjalanan senilai Rp 500 juta yang diduga terkait dengan pemilihan Miranda. Terungkap pula dari 480 lembar cek perjalanan itu, 74 lembar dicairkan langsung oleh 9 anggota DPR, 71 lembar dicairkan 6 anggota DPR melalui kerabat, serta 335 lembar dicairkan 26 anggota dewan melalui orang lain. "Berdasarkan hasil penyidikan dan fakta di persidangan terhadap terdakwa yang lain dalam kasus yang sama, ditemukan bahwa saat menjadi anggota DPR RI Periode 1999-2004, 26 orang tersebut diduga telah menerima pemberian berupa travellers cheque terkait dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004," ujar Johan Budi SP Hubungan Masyarakat KPK.
Dalam kasus ini, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (2) jo pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b, atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Pro dan kontra penetapan 26 politisi ini tak kunjung usai. Yang jelas, semua pegiat anti korupsi memberi apreasi positif atas langkah berani KPK ini. Dengan 26 tersangka baru itu maka telah ada 39 tersangka korupsi dari DPR pada delapan kasus korupsi yang ditangani KPK. Akan tetapi, ICW tetap menunggu kapan KPK menjerat pemberi dana dalam kasus itu.
PDI Perjuangan rupanya tak menerima jika koleganya ditetapkan sebagai tersangka. Mereka tidak tinggal diam. Upaya pembelaanpun dilakukan. Pekan lalu, selama hampir satu jam kader PDI Perjuangan bertandang ke KPK. Tim advokasi PDI Perjuangan yang dipimpin Trimedya Panjaitan. Trimedya didampingi M Nurdin, Achmad Basarah, Ichsan, Imam Suroso, dan Herman Herry. Mereka menyerahkan dokumen pandangan hukum terkait penetapan tersangka 14 kader partai tersebut.Dengan dokumen itu, diharapkan aktor intelektual kasus Mirandagate bisa terbongkar.
Sayangnya, kedatangan rombongan PDI Perjuangan ini dicurigai sebagai bentuk intervensi terhadap KPK. Namun Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanti menjamin proses hukum dalam kasus suap pemilihan DGS BI Miranda Goeltom tidak bisa diintervensi siapa pun. “KPK tidak akan mau diintervensi siapa pun. Karena, hukum dibuat DPR juga. Jadi, mereka pasti tahu bagaimana prosesnya,” papar Bibit.
Pengungkapan kasus suap cek pejalanan merupakan momen kebangkitan kembali KPK setelah sempat mandul akibat upaya kriminalisasi pimpinannya. Karena itu, Febri meminta KPK segera kembali membuat gebrakan dengan mengungkap kasus-kasus korupsi besar lainnya. Ini untuk mengembalikan kepercayaan publik yang sempat luntur kepada KPK. "Kami ingatkan PDI Perjuangan untuk tidak coba-coba intervensi proses hukum. Seharusnya PDI Perjuangan mendorong agar KPK ungkap pemberi dana suap, bukan justru melindungi kader yang terkait korupsi dan mencari tahu serta membongkar siapa aktor intelektualnya,” kata peneliti ICW Febri Diansyah.
Memang, parlemen bereaksi keras dalam kasus penetapan 26 tersangka oleh KPK. Setidaknya reaksi itu datang dari petinggi Partai Golkar dan PDI Perjuangan.
Anggota Fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari mengkritik keras penyebutan 18 nama kadernya, yang diduga terlibat kasus traveller's cheque dalam pemilihan Miranda S Goeltom sebagai deputi gubernur senior Bank Indonesia. "Ini ada politisasi kasus. Karena sudah lama tidak bergerak dihidupkan kembali," ujar Eva.
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri menginsruksikan DPP PDI
Perjuangan untuk memberikan bantuan hukum kepada kader yang kesandung kasus ini.
Demikian juga dengan Partai Golkar. Partai beringin ini juga tengah menyiapkan tim hukumnya. “Alangkah apiknya bila kedua parpol papan atas itu mendesak KPK menuntaskan aktor intelektual di balik kasus Mirandage yang memalukan dan tercela itu,” pinta Febri.
Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso meminta agar KPK menuntaskan kasus travellers cheque ini. Tidak hanya penerima suap saja yang ditetapkan jadi tersangka tetapi juga harus pemberi uang suap ini. Reputasi KPK dipertaruhkan untuk menetapkan pemberi suap dalam kasus ini. "Ketika KPK belum menyentuh sumber semua aib ini yakni sang pemberi suap. Reputasinya menjadi taruhan," ujar Priyo, Rabu (1/9).
Walaupun dalam kasus ini ada 10 nama politisi Partai Golkar yang tersangkut dalam kasus ini, Priyo mengatakan tidak akan mengintervensi kinerja KPK. "Apa boleh buat, kita hormati. Saya kira ini posisi kami menunggu," ujarnya.
Memang, nuansa politis dibalik kasus ini tidak terelakan. Apalagi ini terkait dengan sikap politik PDI Perjuangan yang tidak kompromi dengan kasus skandal Bank Century. Apalagi Megawati berkali-kali menyampaikan sikapnya yang tidak kendor mengawal kasus skandal Century sampai tuntas. Megapun tidak akan membarter kasus ini dengan kasus skandal Century. “Kami tidak akan mengorbankan kehormatan partai. Kami menghormati proses hukum. Sekali lagi, kami tegaskan, tidak akan menukar kasus ini dengan kasus skandal Bank Century,” tegas putri proklamator RI ini.
Benarkan ada nuansa politik? Politisi PD, Achmad Mubarok membantah keras. "Ini bukan tukar guling kasus. Masalah travellers cheque ini murni kasus hukum. Terlalu murah harga bangsa ini kalau semua kasus dibarter," tegasnya.

Penyuap Dijerat
Meski mengapresiasi kerja KPK, politisi Senayan tetap berharap agar sang penyuap juga dijerat. Hingga saat ini, KPK sudah menjerat 30 anggota Komisi IX periode 1999-2004 sebagai tersangka, namun penyuapnya belum tersentuh. Tak heran, jika penetapan 26 anggota DPR periode 1999-2004 dianggap sebagai tragedi politik. "Kasus Mirandagate ini harus jadi entry point dewan untuk memperbaiki tata laksana, sistem dalam hal pengangkatan pejabat publik melalui DPR," pinta Ketua Komisi III DPR Benny Kabur Harman.
Mantan Anggota FPDI Perjuangan DPR, Agus Condro Prayitno, menyatakan, KPK harus menetapkan para pelaku aktif kasus suap pemilihan DGS BI. "KPK tidah hanya menetapkan penerima aktif dalam kasus itu namun perlu menetapkan penyandang dana atau pelaku aktif yang diduga dilakukan Ari Malang Yudo," katanya dalam pesan singkat kepada Requsitor.
Menurutnya, langkah yang dilakukan KPK dengan menetapkan 26 tersangka kasus BI
cukup bagus sebagai upaya memberikan terapi kejut untuk anggota DPR RI. "Terungkapnya kasus ini sebagai `warning` (peringatan) untuk teman anggota DPR agar tak berani menjual jabatan untuk kepentingan pribadi," katanya.
Ia mengatakan, penetapan dirinya sebagai tersangka kasus travel cek sebesar Rp 500 juta oleh KPK sudah disadari sejak awal. Hanya saja, katanya, dirinya terkejut atas keberanian KPK menetapkan 26 tersangka itu. "Ketika saya ditetapkan tersangka, saya tidak terkejut. Hanya
saja, kok begitu banyaknya KPK menetapkan tersangka dalam kasus suap itu," katanya.
Mestinya kata AGus KPK akan lebih elok jika penanganan kasus suap ini naik ke pemberi dan penyandang dana dan kemudian turun ke penerima pasif. "Kami justru heran kenapa seperti Emir Moeis dan Tjahyo Kumolo tidak masuk dalam daftar tersangka kasus itu, padahal saat pembagian dan pembahasan berlangsung di ruangannya yang saat itu dirinya menjabat ketua komisi," katanya.
Seharusnya ujar Presiden Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) H Jusuf Rizal KPK tidak hanya menetapkan 26 nama tersangka dari anggota DPR. Namun, KPK harus berani menetapkan Miranda sebagai tersangka karena diduga sebagai pelakunya atau penyandang dananya.
Untuk mengungkap dari mana awalnya cek itu diperoleh atau dibeli, pada Senin (06/09) lalu, KPK telah memeriksa bekas anak buah Nunun Nurbaetie, Ari Malangjudo yang dimintai tolong oleh Nunun untuk menyerahkan kantong-kantong berisi amplop berisikan cek pelawat ini.
Saat sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi beberapa waktu silam, Krisna Pribadi menyatakan, pembelian itu dilakukan pada 8 Juni 2004 atau hari yang sama dengan terpilihnya Miranda sebagai pejabat bank sentral itu di DPR. Krisna mengungkapkan hal itu di persidangan empat anggota Dewan sebelumnya.
Cek pelawat itu akhirnya dibagi-bagikan oleh Nunun melalui anak buahnya Arie Malang Judo kepada sejumlah anggota DPR setelah pemilihan berlangsung. “Saya pertama mengira yang membeli adalah Bank Artha Graha, namun ternyata di sana diketahui bahwa cek itu dipesan oleh PT First Mujur,” ujarnya.

Tidak Perlu Tunggu 
Kalangan DPR terus mendesak KPK segera menahan Miranda, tokoh Mirandagate yang dianggap sophistokratik. Untuk menahan Miranda kata Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy , KPK tidak perlu menunggu berkas 26 tersangka baru diselesaikan. Sebab bukti yang mendukung sudah cukup, lebih cepat lebih baik karena indikasinya sudah banyak dikemukakan di publik.
Namun, Sapto mengingatkan agar dalam mengusut kasus ini, KPK harus adil dan sesuai logika hukum. Dalam kasus suap, tak perlu menunggu seluruh penerima suap menjadi tersangka baru kemudian menetapkan penyuapnya sebagai tersangka. "KPK dalam bekerja harus masuk akal yakni agar penyuapnya segera ditetapkan sebagai tersangka," katanya.
Sayangnya, permintaan DPR ini tidak digubris KPK. Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Mochamad Jasin berdalil , penetapan Miranda dan Nunun Nurbaetie tergantung pengembangan penyidikan 26 tersangka baru suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. "Tentu KPK menunggu hasil pengembangan penyidikan yang ada saat ini untuk menguatkan yang lainnya," katanya.
Pengamat politik FISIP UI, M Budiyatna mengaku heran dengan sikap KPK ini. Dalam kasus suap travellers cheque, jelas ada dua pihak yang berinteraksi yakni pemberi suap dan penerima suap. Sekarang, mereka yang diduga penerima suap sudah ditetapkan sebagai tersangka. Semestinya, hal yang sama juga diberlakukan bagi pemberi suapnya. "Saya menantang KPK, kapan Miranda ditetapkan sebagai tersangka? Tetapi inilah ironi direpublik ini, ada yang disuap, tetapi penyuapnya tidak juga ketangkap. Aneh bin ajaib hukum di negeri ini," sindirnya.
Kini, bola ada ditangan KPK. Jika memang serius membongkar kasus travellers cheque ini maka tidak ada jalan lain selain melalui Miranda.

Daftar Nama 26 tersangka baru kasus travellers cheque

PDI Perjuangan

1. Williem Tutuarima
2. Sutanto Pranoto
3. Agus Condro Prayitno
4. Muhammad Iqbal
5. Budiningsih
6. Poltak Sitorus
7. Max Moein
8. Matheos Pormes
9. Engelina Pattiasina
10. Suratal H W
11. Ni Luh Mariani Tirtasari
12. Panda Nababan
13. Rusman Lumban Toruan
14. Jeffrey Tongas Lumban


Fraksi Partai Golkar

1. Marthin Bria Seran
2. Antony Zeidra Abidin
3. Ahmad Hafiz Zawawi
4. Boby Suhardiman
5. Paskah Suzetta
6. Hengky Baramuli
7. Reza Kamarullah
8. Asep Ruchimat Sudjana
9. Azhar Muklis
10. TM Nurlif

Partai Persatuan Pembangunan
1.Daniel Tandjung
2.Sofyan Usman