Senin, 27 September 2010

Diaz Gwijangge, S.Sos: Pembela Kaum Tertindas

Diaz Dwijangge mengabdikan hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM) ditanah Papua. Namanya menjadi sumber inspirasi dan obor api semangat bagi segenap pejuang keadilan dan HAM di negeri ini. Lantas apa yang membuat lelaki kelahiran Mapnduma ini tertarik ke dunia politik?


Naskah: Alex Marten Jeramun
Bagi masyarakat Papua, Diaz Gwijangge bukanlah nama yang asing. Mereka sangat familiar dengan nama pria berewok ini. Maklum, Diaz banyak menghabiskan waktu bersama masyarakat dibumi paling Timur Indonesia ini. Diaz terlibat aktif dalam kegiatan advokasi masyarakat di bumi Cenderawasih ini. Dikalangan masyarakat Papua sendiri, Diaz juga dikenal sebagai seorang teladan yang berani dan tanpa pamrih selalu hadir paling depan membela orang-orang tertindas.
Pilihan Diaz membantu masyarakat memperjuangkan hak-haknya bukan tanpa resiko. Diaz mempunyai pengalaman menyeramkan saat menyiapkan sebuah lokakarya di Biak. Lokakarya ini diselenggarakan beberapa gereja di dunia dengan sponsor gereja-gereja di Jerman, gereja-gereja di Papua, dan Elsham Papua. Kegiatan itu terkait resolusi konflik. “Saat itu saya dan rekan saya ditabrak. Teman saya tewas di tempat, sedangkan saya menderita patah tulang. Saya bersyukur karena masih diberi umur panjang oleh Tuhan. Sejak 2000 hingga 2008 saya menggunakan tongkat. Puji Tuhan, sekarang saya sudah melepaskan tongkat,” kata Diaz mengenang.
Meski mendapat ancaman seperti itu, toh tak menyurutkan perjuangan Diaz dalam upaya mengadvokasi masyarakat. Baginya, insiden tabrakan merupakan konsekuensi dari pilihan sikap bersama masyarakat. Justru jiwanya merasa terusik jika tidak membantu masyarakat. “Ini sudah menjadi panggilan jiwa,” tandasnya.
Bagi Diaz, sarana perjuangan membantu masyarakat tidak hanya melalui jalur LSM. Ibarat pepatah, banyak jalan menuju Roma, itulah prinsip Diaz. Diaz percaya, berjuang demi kepentingan masyarakat bisa ditempuh dengan dengan berbagai macam cara dan jalan. Bisa lewat jalur LSM dan bisa juga dengan jalur politik.
Awalnya, Diaz tidak terlalu suka dengan dunia politik. Karena, memang Diaz kurang tertarik. Tetapi tidak ada pilihan lain bagi Diaz, ketika perjuangannya dari luar membentur tembok tebal. Diaz merubah jalur perjuangannya dengan masuk politik. Maka pada 2009 lalu, Diaz tidak menyia-nyiakan tawaran Partai Demokrat untuk menjadi calon legislatif. Tanpa berpikir panjang lagi, Diaz menerima tawaran PD. Inilah awal dari sebuah lompatan besar dalam diri Diaz.
Dengan modal kepercayaan diri yang sangat tinggi, Diaz mencalonkan diri sebagai calon legislative asal Papua dari Partai Demokrat. Jebolan Antropologi Fisip Universitas Cenderawasih ini akhirnya terpilih sebagai anggota DPR RI dari Papua “Saya akhirnya terpilih dengan suara sebesar 59.921. Saya terpilih bareng Pak Fredy Numberi dan Ibu Etha Bullo,” kata Diaz
Sebenarnya, apa motivasi Diaz terjun ke panggung politik praktis? Motivasi Diaz sangat sederhana. Diaz ternyata merasa kecewa karena perjuangan membela hak masyarakat selama bertahun-tahun tidak terakomodir oleh pembuat kebijakan.
Teriakan LSM dari luar justru dianggap angin lalu oleh pembuat kebijakan. Padahal, banyak masukan dari LSM yang bisa diadopsi oleh pembuat kebijakan, khususnya terkait dengan kebijakan HAM di Indonesia. “Saya ingin berjuang meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua lewat jalur politik. Anda tahu sendiri, tingkat kesejahteraan masyarakat Papua masih tertinggal jauh dibanding daerah lain. Ini sebuah komitmen yang tidak muluk-muluk. Saya akan buktikan itu,” jawabnya
Meski sudah terpilih menjadi anggota DPR, Diaz tidak akan pernah lupa akan tanah Papua. Justru motivasi dan semangatnya semakin terpompa tatkala menjadi wakil rakyat. Komitmennya membantu semakin menggelora. Apalagi secara substansi kata Diaz, perjuangan melalui jalur resmi legislative dengan pejuang HAM tidak terlalu jauh berbeda. Yang berbeda, ujarnya cuman wadah atau sarana perjuangannnya. Sementara content perjuangannya sama. “Substansinya, ya sama-sama berjuang untuk kepentingan masyarakat. Jika dulu saya berteriak dari luar untuk memperjuangkan hak asasi maka setelah menjadi wakil rakyat, saya berteriak dari dalam. Paling tidak, saya ikut mempengaruhi setiap kebijakan politik yang menyangkut hak asasi manusia di Indonesia, baik itu menyangut UU, politik anggarannya, pengawasannya dll,” ujarnya.
Bagi Diaz, posisi sebagai wakil rakyat hanyalah sebuah amanah yang ada masanya. Jabatan wakil rakyat hanya 5 tahun lamanya. Tetapi perjuangan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Papua tidak pernah mengenal masa. Ini harus menjadi komitmen perjuangan seumur hidup sebagai anak yang lahir dari rahim bumi Papua. “Hidup masyarakat Papua harus diperhatikan,” ujar anggota DPR kelahiran Mapnduma, Papua, 27 November 1974.
Sebagai wakil rakyat asal Papua, Diaz berusaha untuk memaksimalkan perannya agar bisa menjadi penyambung kebijakan pusat dan daerah. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah harus seiring-sejalan. Ini sangat penting sehingga tidak akan terjadi hambatan di tengah jalan.
Bagi tutur suami dari Heriana Nirigi, AMD. PAR, perannya sebagai wakil rakyat dijalankannya dengan sepenuh hati. Diaz mempertaruhkan semua potensi yang dimilikinya dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagai wakil rakyat. “Rakyat mempercayakan aspirasinya melalui wakil rakyatnya. Segala sesuatu yang kita lakukan tentu akan sangat hati-hati karena menjaga kepercayaan masyarakat. Kita tentu tetap menjaga kontrak politik yang sudah kita buat. Nah, kalau itu berjalan bagus maka saya percaya Partai Demokrat tetap eksis dan mendapat kepercayaan masyarakat,” tutur ayah tiga orang putri ini.


Tidak Suka Politik
Sejujurnya, Diaz bukanlah orang yang sreg dengan panggung politik. Justru awalnya, Diaz alergi alias tidak terlalu suka dengan hiruk pikuk di panggung politik Indonesia meskipun dunia politiknya sudah dikenalnya sejak lama. “Saya sebenarnya orang yang tidak respek dengan politik. Karena memang latar belakang saya bukan dari keluarga politik. Ayah dan Ibu saya bukan politisi,” akunya.
Sebagai putra asli Papua, Diaz tidak hanya sekedar beretorika dalam memperjuangan kemakmuran rakyat Papua. Diaz akan berjuang memperbaiki persoalan hak asasi di Papua. Selama ini, banyak pelanggaran hak asasi di Papua. Tidak hanya itu saja. Diazpun berkomitmen untuk memperbaiki masalah pendidikan dan kesehatan masyarakat di bumi Papua. “Selama ini, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, kalau Papua memang masih tertinggal dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Ini sudah menjadi komitmen politik saya sebagai wakil rakyat dari Papua,” ujarnya.
Meski demikian katanya, upaya pembenahan Papua tidak akan berhasil kalau tidak mendapat dukungan dari pemerintah. Karena itu katanya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, harus menginventarisir semua persoalan yang ada di Papua.
Setelah itu dilakukan evaluasi guna menemukan jalan keluarnya. Rasa cinta ayah dari Desiana V. Nuinindi Gwijangge, Mathreecia R Sarafina Gwijangge dan Grace Ester Imanuella Gwijangge akan tanah Papua memang luar biasa tinggi. Lihat saja, semua masa kecilnya, dia habiskan di bumi Cendrawasih ini. Demikian juga dengan pendidikan, mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, semua diselesaikannya di Papua.
Kini Diaz sudah menjadi wakil rakyat. Tentu banyak sekali perubahan yang terjadi. Namun satu yang tidak pernah lupa adalah komitmennya yang selalu “Berjuang untuk Rakyat yang Tak Bersuara.”

Ir. Fary Djemi Francis, MMA: Wakil Rakyat Harus Tidur di Rumah Rakyat

Menjadi wakil rakyat bagi Ir. Fary Djemi Francis, MMA tidak hanya sekedar bertemu dan berjabat tangan dengan masyarakat, tetapi harus benar-benar mengetahui dan merasakan langsung apa yang dirasakan masyarakat di desa-desa. Anggota DPR RI dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) inipun punya cara unik untuk menyapa konstituennya yakni dengan tidur berbaur di rumah rakyat.


Naskah: Alex Marten Jeramun
Kemitraan sejati, adalah sebuah keniscayaan dalam suatu simbiosa yang mutualistik. Keterbukaan dan kerelaan untuk berbagi menjadi syarat utama dalam membangun dan melestarikan kemitraan sejati itu. Dalam semangat “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dan berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” Fary demikian tokoh ini disapa datang menemui konstituennya. Dan seperti yang biasa dilakukannya sebelum menjadi anggota DPR, Fary datang ke desa, tinggal dan membaur dalam kondisi apa adanya di masyarakat. Dalam semangat kemitraan sejati itulah keduabelah pihak, anggota DPR dan masyarakat konstituen maupun simpatisannya saling menyerap aspirasi yang sesungguhnya. Di situlah DPR melakukan observasi suasana masyarakat berkaitan dengan terbatasnya ketersediaan air bersih, dan infrastruktur pendukung sosial, ekonomi, kesehatan, pertanian, dll.
Ramah, pandai bergaul dan dekat dengan konstituen, itulah kesan yang melekat dalam diri seorang Fary. Pengalaman 20 tahun terlibat langsung di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membuat wakil rakyat asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ini peka terhadap persoalan-persoalan riil rakyat kecil. Maklum, dalam kurun waktu itu, Fary keluar masuk kampung maupun desa dan ikut merasakan kehidupan sebagai masyarakat pedesaan.
Kebiasaannya itu terus dibawanya hingga kini menjadi anggota DPR. Lihat saja apa yang dilakukan Fary saat melakukan kunjungan kerja ke Kupang, tepatnya ke Lakekun Barat, Kecamatan Kobalima. Guna menyerap aspirasi masyarakat, Fary tak canggung-canggung bermalam di rumah warga sekitar. Padahal sebagai anggota dewan, Fary mendapat fasilitas hotel oleh Sekretariat. Fary lebih memilih berbaur dengan masyarakat kampong. “Belum ada yang berubah dalam diri saya sekalipun saya sudah menjadi anggota DPR,” ceritanya.
Fary tidak ingin dicap sebagai wakil rakyat seremonial yang hanya datang berjabat tangan dengan konstituen. Tetapi Fary ingin menemukan persoalan pokok masyarakat yang banyak dikeluhkan oleh mereka. “Ini sebagai bentuk pendidikan politik. Artinya kita tidak berpikir untuk masyarakat tetapi juga dapat menjadi bagian dari masyarakat. Dan untuk menjadi bagian hidup dari masyarakat, kita harus tidur di rumah-rumah warga sekitar. Mungkin saja dulu, saya pernah berbaur dengan mereka, tetapi persoalan dulu dan sekarang sangat berbeda,”terang wakil rakyat dari Dapil NTT II (Timor, Sumba, Rote, Subu, Semau).
Rela Tak Mandi
Tak hanya berbaur dengan masyarakat, lulusan master agrobisnis IPB juga melakukan aksi simpatik lainnya. Fary bahkan rela seharian tidak mandi untuk merasakan nasib warga Usapimnasi, Kecamatan Polen. Maklum, warga didesa ini dikenal sebagai desa yang sulit mendapatkan air bersih. “Saya ingin bersama masyarakat merasakan langsung persoalan yang mereka hadapi. Kami ingin mendengar dan merasakan apa yang dialami warga setempat setiap harinya,” ujarnya.
Fary merasakan betul apa yang dialami masyarakat itu. Apalagi, persoalan air ini sudah menjadi persoalan hidup mereka dari tahun ke tahun. Sebenarnya kata Fary sumber air ada di wilayah itu. Tinggal bagaimana pemerintah dan warga membuat sentuhan-sentuhan melalui program Pamsimas atau PPIP. Pemerintah katanya harus berupaya untuk mendekatkan sumber air ke permukiman sehingga warga punya waktu produktif untuk kegiatan. Dengan sumber air yang dekat, masyarakat lebih mudah meningkatkan pendapatan, “Saya mengharapkan masyarakat terlibat, menjaga dan memelihara (fasilitas air) sehingga bisa dipakai sepanjang masa,” terangnya.
Menurutnya, seluruh komponen bangsa harus berkerja keras guna mengharmonisasikan visi misi yang disesuaikan dengan pembangunan di daerah-daerah. Artinya, pusat harus fokus ke daerah untuk mendukung program di pemerintah daerah. “Misalnya saja di NTT ada gerakan prioritas NTT sebagai daerah produksi jagung, peternakan dan Koperasi. Nah disitu harusnya pemerintah fokus mendukung program daerah,”papar Direktur Increase dan in house consultant pada beberapa lembaga bantuan keuangan seperti JICA, GTZ,Plan Unicef, iinet Japan, Care ini.
Sebagai wakil rakyat, Fary akan berjuang bagaimana politik anggaran itu diarahkan untuk pembangunan desa, terutama untuk desa dikawasan timur Indonesia. Meski demikian, perjuangan ini tidak mudah. Karena politik anggaran itu lebih mengutamakan Jawa. Buktinya, sekitar 65% anggaran itu diperuntukan bagi pembangunan di Jakarta.
Sementara dikota-kota besar lainnya, sekitar 25%. Sedangkan 7%-13% beredar di
desa-desa. “Jadi, perjuangan saya, bagaimana politik anggaran itu lebih berpihak ke desa-desa.
Kenapa? Karena sekitar 69% orang-orang yang dikategorikan miskin itu tinggal didesa. Dan mata pencaharian mereka itu petani,”terang ayah 3 orang anak ini.
Kebetulan Fary memang lahir dari keluarga politisi. Sang ayah adalah anggota DPRD Propinsi Timor-Timor (waktu itu) sebagai wakil FTNI. Setelah pensiun, ayah masuk menjadi kader Partai Golkar. Namun demikian, sang ayah tidak pernah mengarahkan Fary agar menjadi politisi. “Politik itu mengalir saja. Saya tidak berpikir menjadi politisi,” ujarnya.
Dunia politik bagi Fary sebenarnya terjadi secara kebetulan. Justu, awalnya, Fary tidak terlalu suka dengan dunia politik. Keterlibatan bergabung bersama Gerindra tanpa disengaja. “Saya ini vini vidi vici artinya saya datang langsung menang. Bahkan saya ini tidak menjadi pengurus di Gerindra seperti Pengurus DPP, bahkan DPD Gerindra, hanya diminta bergabung dengan Gerindra,”terang Suami dari Yoza O Johanes ini.
Justru Fary sangat menikmati pekerjaan sebelumnya sebagai LSM. Diapun pernah menjadi adviser pemerintahan Jepang untuk mamantau semua program-program yang diberikan kepada pemerintah Indonesia. “Saya itu, orang Indonesia yang paling tinggi jabatannya sebagai tenaga ahli,” tuturnya.
Pilihan masuk parpol katanya bukan keputusan yang mudah. Saat diajak bergabung Gerindra, Fary melakukan kontemplasi. Sejumlah rohaniwan didatanginya sebelum membuat keputusan. Setelah mendengar masukan rohaniwan, Fary berihtiar terjun ke dunia politik. Fary meminta petunjuk Tuhan. Dan Tuhan langsung menjawabnya. Tuhan ternyata memiliki rencana lebih besar bagi seorang Fary. “Setelah dari rohaniawan saya bertanya kepada keluarga bahkan mereka tidak menolak saya bergabung di dunia politik dan maju sebagai calon legislatif saat itu,”ceritanya.
Bahkan saat pencalegkan, Fary, tidak pernah mengeluarkan uang satu senpun saat maju mendaftarkan menjadi calon legislatif (caleg) di Partai Gerindra. Bahkan saat itu, tambahnya, masih berlaku nomor urut bukan suara terbanyak, hingga MK akhirnya memutuskan suara terbanyak. “Saya buktikan bahwa saya penduduk asli juga mampu menjadi anggota dewan,”terang Pria yang menang suara sebesar 18 ribu suara bersaing dengan Politisi kawakan seperti Setya Novanto, Charles Mesang, Herman Hery.
Dia menambahkan, dari 7 kursi, sebesar 6 kursi berasal dari Pusat DKI Jakarta. “Saya sendiri yang berasal dari Kupang,”terang Fary bangga.
Fary melanjutkan,seluruh anggota dewan harus membangun pendekatan dengan masyarakat, bukan pendekatan seperti sinterklas. Kini, Fary menjadi wakil rakyat di Senayan. Namun satu hal yang tidak pernah dilupakannya adalah “Saya Tetap Merasa Hanya Orang Biasa Untuk Orang Biasa”

Tetty Kadi Bawono: Belajar Kejujuran Berpolitik dari Sang Ayah

Dunia politik bagi Tetty Kadi Bawono atau yang akrab disapa Tetty Kadi ternyata bukan dunia baru. Sejak 1971, Tetty terlibat di Partai Golkar meski hanya sebagai artis pendukung. Akan tetapi, masa-masa inilah awal keterlibatan Tetty karena pada tahun 1986, Tetty menjadi pengurus Golkar.


Naskah: Alex Marten Jeramun
Masyarakat Indonesia yang hidup di era tahun 1960-an tentu tidak asing dengan Tetty Kadi. Nama ini terus melegende hingga kini lewat beberapa lagu yang dibawakannya. Tembang-tembang yang dinyanyikannya tidak pernah lekang dimakan waktu. Misalnya, lagu Ohhh Bunga Mawar yang diciptakan Alm A Riyanto. Lagu ini mengisahkan seorang gadis cilik, ada yang suka tetapi masih kecil dan belum bisa dipetik. Lagu ini masih sangat digandrungi hingga kini. Wanita yang kini menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar mengaku keberadaannya tiga puluan tahun lalu sebagai penyanyi remaja sangat membantunya dalam menggapai mimpi menjadi seorang politisi yang berkiprah di parlemen saat ini.
Memang bagi filsuf Willyam Shakespeare nama tidaklah begitu penting tetapi bagi Tetty nama sangat berarti bagi perjalanan hidupnya. Karena, apa yang dipetiknya saat ini tidak terlepas dari eksistensi namanya yang telah diinvestasikan sejak menjadi penyanyi remaja. “Dulu nama saya Maria Teti Kadi tetapi sekarang nama saya Tetty Kadi Bawono dan ini merupakan pemberian dari bapak. Jadi di politik semua orang berusaha mencari nama, memperkenalkan diri untuk partai, seorang aktivis beruntung. Dan saya betul-betul sudah sangat beruntung dengan nama yang sudah sangat dikenal untuk seluruh Indonesia,” ujar wanita yang sudah menyanyi sejak
kelas 2 SMP ini .
Nama itu membuat Tetty bisa berkomunikasi leluasa dengan banyak figure. Seperti dalam sebuah pertemuan dengan ibu-ibu seluruh Indonesia. “Begitu selesai presentasi materi tentang perempuan dan diperkenalkan saya sebagai Tetty Kadi langsung semua peserta bertepuk tangan. Ada yang minta foto bersama. Jadi saya bersyukur sekali di beri nama yang cukup terkenal di Indonesia . Bahkan di Singapura dan Malaysia,” kenangnya .
Sosok Ayah
Kesuksesan yang diraih Tetty saat ini tidak lepas dari sosok seorang ayah, Alm. Kadarusman Kadi. Tetty benar-benar mengagumi sang ayah.Bakat politik yang ada dalam diri Tetty diturukan dari gen ayah. Tak heran, jika Tetty mengidolakan sang ayah. Di mata Tetty, ayahnya adalah guru politiknya. Sehingga Tetty banyak belajar dari ayah. “Beliau adalah sosok militer dengan pangkat terakhir Kolonel. Di juga pernah menduduki beberapa posisi penting di pemerintahan, seperti Dirjen di Depdagri dan juga anggota DPR RI dari fraksi Golkar. Jadi saya tergembleng benar oleh ayah, yang memang seorang politisi, seorang tentara. Namun sangat mengerti mengenai pemerintahan,” ujarnya.
Figur ayah bagi Tetty tidak sekedar ayah biologis saja, tetapi juga sumber inspirasinya. Sang ayah kata Tetty sangat jujur, tegas dan pandainya luar biasa. “Dia pernah kritik saya. Katanya kuliah satu semester tetapi mahasiswa cuma dikasih introduction saja. Setelah itu ayah membeli buku yang tebal sekali buat saya. Dalam bahasa Inggris pula. Dia yang mengajar saya untuk berdisikusi dengan teman-teman kuliah. Sekarang mereka sudah menjadi pejabat semua,”
ceritanya.


Sosok sang ayah dengan segala kelebihannya benar-benar dirasakannya saat ini. Semua yang dipelajari Tetty sejak sejak kecil terasa sekali manfaatnya hingga saat ini. Sang ayah sangat jujur dan tidak macam-macam. Sehingga jangan heran hingga usia pensiun, ayah tidak mempunya harta dan uang. Bahkan semua semua mobil dan fasilitas kantor ketika menjadi Dirjen diserahkan kembali ke kantor ketika masa jabatannya berakhir. Setelah itu, kemana-mana ayah selalu naik kendaraan umum. Jadi kejujuran itu nomor satu,”kenangnya.
Lalu kapan sebenarnya mulai tertarik menjadi politisi? Tetty menceritakan setelah menikah, praktis semua kegiatan tarik suara ditinggalkannya. Waktunya, lebih banyak habis bersama ayah. Dari situlah ayah kemudiannya untuk masuk menjadi kader Golkar karena pada saat itu ayah menjadi pengurus pusat Golkar.
Keseringan bersama ayah sebagai ajudan, lambat laun minatnya ke politik pun tumbuh. Selalu ada pertanyaan yang diajukan ketika berdiskusi politik dengan ayah. Ayah juga seorang intel yang mengetahui banyak hal namun tidak sembarangan memberi informasi termasuk kepada istri sekali pun. Namun ayahnya begitu terbuka soal politik dengannya.


Rupanya sang ayah mengetahui bakat politik yang tumbuh dalam dirinya. Feeling sang ayah benar adanya. Tetty kerap bediskusi tentang politik dengan ayah. Bahkan ketika pergi show ke daerah-daerah ayah selalu memberi kesempatan kepadanya untuk berdialog dengan para pejabat di daerah.


Dalam interaksi dengan masyarakat di daerah, Tetty menanyakan banyak hal tentang daerah yang dikunjungi. Lama-lama terasah juga. “Jadi feeling politik itu dibangun dalam proses yang sangat panjang. Sejak SMP sebenarnya saya sudah mengenal politik dari ayah. Saya mendapat seorang sosok guru yang paling saya idolakan yakni ayah saya sendiri,” imbuhnya.
Selain sang ayah, Tetty juga mendapat pelajaran yang berharga dari sang ibu. Ibu adalah sosok yang sederhana. Dia yang mengajarkan tentang kesantunan sebagai seroanga wanita yang baik. “Setelah menikah saya justru mendapatkan suami yang sangat mengerti politik, sehingga kami selalu punya waktu bersama untuk berdiskusi tentang masalah politik,” ceritanya.
Untuk Perempuan
Interaksi Tetty dengan dunia politik sebenarnya terjadi sejak tahun 1971. Waktu itu, Tetty menjadi artis pendukung partai Golkar. Namun seiring dengan perjalanan waktu, Tetty mulai merasa betah dengan politik. Sehingga pada tahun 1986, Tetty menjadi pengurus Golkar Jawa Barat.
Setelah itu, Tetty menjadi Ketua Biro Seni dan Budaya Jawa Barat. Dan terakhir menjadi dewan pertimbangan di Jawa Barat. “Sejak masuk menjadi pengurus di partai sesungguhnya begitu banyak organisasi sosial dan politik yang saya ikuti sebagai pengurus. Saat ini saya termasuk sosok senior diantara kader perempuan Golkar di Jawa Barat,” tegasnya.
Kini Tetty menjadi anggota Komisi VIII DPR RI dan anggota Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI). Tetty akan berjuang untuk kepentingan politik perempuan, apalagi keterwakilan perempuan sudah terakomodir 30% UU. Ini artinya ada supor yang luar biasa terhadap eksistensi perempuan dalam politik.
Tentunya ada sebuah target besar, ada tanggung jawab Negara kepada perempuan. Memang dengan 30% itu diharapkan bahwa Negara dapat memperhatikan masalah bangsa dan Negara ini yang mayoritas perempuan, remaja dan anak-anak dapat diselesaikan oleh perempuan melalui jalur politik di parlemen. “Jadi memang dengan bergabungnya kita di KPPI sebetulnya merupakan gabungan dari 101 perempuan anggota dewan dan 135 dari DPR RI . Angkatan kami baru dilantik pada Februari 2010 lalu,” imbuhnya.
Menurutnya, pembentukan KPPI dilatari oleh kondisi perempuan Indonesia yang masih memprihatinkan. Sementara berbagai upaya untuk meningkatkan peran perempuan agar setara dengan laki-laki masih belum berhasil selama lebih dari 20 tahun terakhir.
Tetty boleh saja tidak aktif bernyanyi, tetapi suaranya masih dibutuhkan oleh rakyat Indonesia lewat suaranya di parlemen. Teruslah bernyanyi Tetty Kadi.