Kamis, 30 September 2010

Lili Chodidjah Wahid: Berani Tampil Beda

Panggung politik bagi Hj. Lili Chodidjah Wahid tidak identik dengan upaya memperebutkan kekuasaan.  Tetapi makna politik sesungguhnya adalah cara untuk mencapai kemakmuran rakyat lewat peran yang dimainkan masing-masing sesuai kemampuannya.

Naskah :  Alex Marten Jeramun

Kehadiran Lili Wahid dalam percaturan politik nasional boleh dibilang masih baru. Namun, bukan berarti wanita yang lahir di Jombang, 4 Maret 1948 baru mengenal politik.  Lili Wahid  yang tumbuh dalam keluarga sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur, sejatinya  sudah mengenal politik sejak masih remaja.
Lili Wahid bahkan tumbuh dalam keluarga yang sangat kental dengan nuansa politik.  Ayah Lili Wahid, K.H. Wahid Hasyim, seorang tokoh terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949.  Sementara, Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Lazimnya keluarga politisi, obrolan seputar dunia politik sudah menjadi menu Lili Wahid sehari-hari. “Di meja makan pun berbicara soal politik. Jadi politik itu sudah asing lagi bagi keluarga Wahid,” ujarnya.
Bahkan pada tahun 1967, saat usianya masih sekitar 19 tahun, Lili sempat dicalonkan menjadi anggota DPR sebagai wakil ormas oleh PBNU. Tetapi karena umur masih kecil, sang Ibu menganjurkan untuk mengalah.  Apalagi, sudah banyak juga keluarga besar Wahid yang menjadi caleg kala itu. Akhirnya, Lili Wahid memutuskan membatalkan pencalonan.
Setelah tidak menjadi caleg, Lili Wahid memilih untuk kuliah. Selesai kuliah, Lili Wahid kemudian menikah dengan seorang anggota TNI. Dari pernikahannya ini, Lili Wahid dikarunia tiga anak.
Lili Wahid benar-benar menikmati perannya sebagai istri TNI. Sebagai istri tentara, Lili Wahid sempat pindah dari satu daerah ke daerah lain mengikuti dinas sang suami. Semua peran itu dijalankannya dengan penuh kesungguhan.
Setelah mengikuti masa dinas suami di beberapa daerah, merekapun pindah ke Jakarta. Sesampai di Jakarta, Lili Wahid aktif di kegiatan ormas NU yaitu muslimat NU. Tidak hanya itu,  Lili Wahid kemudian menjadi Ketua Umum Induk Koperasi.  Lalu aktif dalam Dekopin.
Namun naluri politik Lili Wahid terus berkembang sejalan dengan dibukanya keran reformasi.  Kemunculan Lili Wahid dipanggung politik mencuat, saat pecahnya PKB yang melibatkan Muhaimin Iskandar dan Gus Dur. Saat itu, Lili Wahid diminta untuk memback up Muhaimin.
Lili Wahid selanjutnya ditempatkan sebagai Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB. Dengan posisi itu, Lili Wahid makin dikenal publik. Dan pada Pemilu 2009, Lili dicalonkan menjadi caleg dari dapil yang sangat kental dengan Gus Durian  Lili Wahid akhirnya menang dan melenggang ke DPR setelah memenangkan pertarungan di daerah pemilihan (Dapil) Jawa Timur II.
Sebetulnya  pada saat itu Lili Wahidmalas untuk terjun ke dunia politik. Meski demikian Lili Wahid tetap terlibat dalam politik, tapi tidak terikat dengan salah satu organisasi. Lili Wahid hanya senang menjadi seorang aktivis.  Karena sejak tahun 1966, demo sudah menjadi bagian dari hidup Lili Wahid sampai saat ini.
Semua itu dilakukan lantaran cita-cita proklamasi yang didengung-dengungkan oleh founding fathers belum tercapai. “Makanya setiap kali ketemu aktivis Lili selalu bilang bahwa sejak tahun 1966 sampai sekarang masih hidup di jalanan,” imbuhnya imbuh istri dari Indrawanto.
Lalu apa obsesi Lili Wahid terjun ke panggung politik?  Osebsi adik kandung Gus Dur ini ternyata sangat sederhana.  Lili Wahid ingin memperjuangan masyarakat yang adil dan makmur yang belum terwujud dari satu periode ke periode yang lain.  “Ini obsesi terbesar saya. Karena amanat kemerdekaan dan reformasi itu belum bisa kita capai.  Untuk bisa mewujudkan cita-cita itu, harus berjuang melalui DPR, ”ujar Lili yang pernah menjadi Sekretaris Persit KCK Intendans Cimahi 1977-1979.
Namun sayangnya kata Lili, perjuangan mencapai kesejahteraan dan keadilan bukannya makin maju, tetapi malah makin mundur.  Integritas berpolitik tidak muncul. Rendahnya integritas tidak hanya menghinggapi para politisi tetapi sudah menyebar ke anak bangsa. Bahkan Lili Wahid melihat adanya degradasi dari sisi moral. “Kita lihat betul dengan tingginya tingkat korupsi di Indonesia dan lemahnya punishment terhadap para koruptor. Sehingga imbasnya ke mana-mana, ke semua komponen kehidupan berbangsa itu sangat besar,” imbuhnya.
Sebagai politisi, Lili Wahid juga merasa pasang surut. Terkadang politik itu, menyenangkan, namun tidak jarang juga menjengkelkan. Akan tetapi, bagi politisi PKB ini, menjadi politisi itu bagian dari tanggung jawab. “Sehingga nyaman nggak nyaman, harus diterima. Apalagi ini sebuah amanah dari orang yang memilih saya,” tegasnya.

Perjuangan
Bagi Lili Wahid,  politik itu sebenarnya sebuah proses perjuangan seumur hidup. Selama  orang-orang mendukungnya maka Lili Wahid akan tetap berkiprah di dunia politik. Lili Wahid berkaca dari negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika, orang menjadi anggota dewan itu selama berperiode-periode. Karena memang masyarakatnya masih menghendakinya. “Sampai orang-orang yang mendukungnya tidak menghendakinya lagi, baru saya berhenti,”ujarnya.
Lili Wahid benar-benar menikmati perannya sebagai anggota DPR.  Sebagai wakil rakyat, Lili Wahid tidak takut untuk menyuarakan kebenaran. Prinsipnya, katakanlah yang benar meski itu pahit.
Dan puncak keteguhan hati Lili Wahid akan kebenaran terjadi saat sidang paripurna  di DPR. Lili Wahid berdiri sendiri untuk menyuarakan kebenaran. Sebab Lili Wahid menyakini bahwa proses bailout Bank Century itu menyimpang adanya, walaupun seluruh anggota fraksinya menyatakan tidak. “Ini adalah suara hati nurani, dan saya meyakini sebagai kebenaran. Prinsipnya, katakanlah yang benar meski itu pahit.” tegasnya.
Namun sikap berani Lili Wahid ini bukan tanpa resiko. Petinggi partainya sempat marah hingga muncul isu akan direcall dari keanggotaan FKB DPR. Akan tetapi sekali lagi, Lili Wahid tidak gentar.  
Lili Wahid justru menantang sejumlah pimpinan PKB yang merasa tidak setuju dengan sikapnya itu. Bagi Lili Wahid keterlibatannya dalam mengungkap kasus Century membawa hikmah tersendiri. Satu hal yang  membuat Lili Wahid bangga sebagai anggota DPR adalah hubungan emosional dan pribadi antara masyarakat yang memilih dan mendukungnya menjadi anggota dewan semakin dalam. “Hubungannya sudah sampai ke tingkat emosional, kalau tadinya hanya sebatas sebagai konstituen saja. Tetapi dalam kasus Centrury, hubungan itu sampai ke lubuk hati yang paling dalam. Mereka malah semakin mencintai saya, dan mereka berpikir bahwa saya berjuang bukan hanya untuk partai saja, tetapi juga berjuang untuk mereka,”ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar