Jumat, 10 Februari 2012

Bunga Acuan l Bank Takut Likuiditasnya Ditarik Nasabah Kredibilitas BI Dipertaruhkan

Kredibilitas BI Dipertaruhkan
KORAN JAKARTA
JAKARTA - Penurunan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen belum tentu berdampak terhadap penurunan suku bunga kredit perbankan. Bahkan, kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) untuk Februari itu seperti memukul angin.


"BI bisa menjadi kurang kredibel jika kebijakannya tidak diikuti oleh bank-bank. Jangankan suku bunga kredit, bahkan suku bunga deposito pun belum tentu turun," ujar pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony Prasetiantono di Jakarta, Kamis (9/2).


Apalagi saat ini level suku bunga deposito boleh dibilang sudah berada pada level sensitif. Jika turun lagi maka pemilik dana bisa memindah portofolionya ke emas, dollar Amerika Serikat (AS) atau lainnya. "Ini alasan bank cukup rigid, karena takut likuiditasnya ditarik nasabah," jelasnya.


Sisi lain, dia melihat, BI tampaknya sedang berusaha meyakinkan pasar bahwa inflasi aman, sehingga BI rate diturunkan jadi 5,75 persen. Namun tampaknya juga sulit menghindari bahwa sebentar lagi harga BBM dan tarif listrik pasti naik, justru karena inflasi rendah, serta APBN sudah terlalu berat memberi subsidi.


Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG-BI) Kamis (9/2) memutuskan untuk menurunkan BI Rate. Keputusan ini ditempuh bank sentral guna mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah memburuknya situasi ekonomi global. Kepala Biro Hubungan Masyarakat BI, Difi A Djohansyah mengungkapkan, penetapan BI Rate menjadi 5,75 persen dari 6 persen tetap mengedepankan pencapaian sasaran inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah.


"Dengan BI Rate sebesar 5,75 persen ini, maka koridor bawah dan atas suku operasi moneter BI masing-masing menjadi 3,75 persen untuk fasilitas simpanan dan 6,75 perseen untuk fasilitas pinjaman," jelas Difi, kemarin.


Menurut Tony, potensi kerawanan likuiditas masih akan terjadi ke depan. Meski belakangan ini tekanan masalah zona euro mereda. Namun pada 20 Maret nanti akan ada utang Yunani yg jatuh tempo cukup besar . "Ini rawan menimbulkan guncangan," imbuhnya.


Dijelaskan, goncangan tersebut biasanya menyebabkan euro melemah, dollar AS menguat dan rupiah melemah. Shock juga sewaktu-waktu bisa terjadi pada Spanyol yang penganggurannya meledak hingga 23 persen. Situasi ini bisa menyebabkan rupiah volatile.


Dia mengaku suku bunga kredit sebenarnya untuk segmen kredit korporasi sudah cukup rendah. Namun suku bunga kartu kredit dan UMKM masih tinggi sehingga harus diupayakan turun, sekalipun bank memang menghadapi faktor risiko yang besar di segmen tersebut.


"Mendorong persaingan adalah cara terbaik. Bank BUMN bisa didorong untuk menjadi pelopor persaingan ini. Saya yakin bisa, meski mungkin tidak secepat yang diharapkan pihak BI dan publik," imbuhnya.


Likuiditas Bank
Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto mengatakan penurunan BI Rate ini sesuai dengan perkiraan karena BI mempunyai ruang untuk menurunkan BI rate 25-50 bps.


"Jadi, kalau hanya turun 25 bps, itu sudah bagus mengingat inflasi year on year hanya 3,76 persen dan espektasi inflasi masih dibawah 4,5 persen dengan memperhitungkan efek negatif lonjakan inflasi karena administered price dari pembatasan distribusi BBM mulai April nanti dan kenaikan TDL 10 persen," jelasnya.


Ryan yakin, BI sudah menghitung dampak BBM dan TDL ke depannya sehingga berani menurunkan BI Rate 25 bps. Kendati demikian, dia mengakui penurunan BI Rate ini tidak serta merta disertai dengan penurunan bunga kredit karena acuan bank-bank dalam penetapan bunga dana adalah LPS Rate. Jika LPS berani menurunkan LPS Rate menjadi berkisar 5,25-5,75 (di bawah atau sama dengan BI Rate) maka bunga kredit berpeluang turun. Namun facktor utama turunnya bunga kredit ada pada kondisi likuiditas bank dan komposisi dana pihak ketiga (DPK).


"Jika likuiditas kuat dan dana murahnya dominan, saya yakin bunga kredit akan turun lebih agresif. Kasusnya bank per bank dan bukan secara industry. Jika bank-bank besar berani turunkan bunga kredit akan mendorong bank-bank menengah dan kecil menurunkan bunga kredit juga," katanya. lex/AR-2

Pembangunan Nasional I Penghapusan Utang Angkat Kesejahteraan Rakyat Anggaran Berimbang Jadi Bukti Kemampuan Membayar Utang

Anggaran Berimbang Jadi Bukti Kemampuan Membayar Utang
KORAN JAKARTA
JAKARTA - Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan sistem anggaran berimbang atau balance budget merupakan bukti kuat bahwa pemerintah mampu membayar utang. Selama pemerintah masih menerapkan anggaran defi sit yang ditutup dengan utang, hal itu menunjukkan pemerintah belum mampu melepaskan diri dari kebergantungan terhadap utang.


"Anggaran berimbang bisa mencerminkan kemampuan kita membayar utang. Untuk mencapai itu, diperlukan kemampuan pemerintah untuk lebih efi sien, transparan, dan akuntabel dalam penggunaan anggaran negara dan seberapa besar beban pembayaran utang dapat ditekan dalam pembuatan kebijakan anggaran," kata Direktur Koalisi Anti Utang Dani Setiawan di Jakarta, Kamis (9/2).


Sebelumnya, dikabarkan, penerapan anggaran berimbang bermanfaat untuk meredam nafsu berutang dan mengurangi stok utang lama. Apalagi selama ini pemerintah tidak memunyai konsep pengelolaan utang yang jelas sehingga jumlah utang pada akhir 2011 menjulang hingga 1.803,49 triliun rupiah.


"Kita memang belum mampu keluar dari jerat utang. Akibatnya, pemerintah juga tidak berani mewujudkan anggaran berimbang, kendati pemerintah mencanangkan anggaran berimbang pada 2014," kata pengamat ekonomi dari LPEM FEUI, Eugenia Mardanugraha.


Sedangkan ahli ekonomi kesejahteraan rakyat UGM, Poppy Ismalina, mengatakan terdapat perbedaan mendasar antara pemerintah Indonesia dan pemerintahan negara Uni Eropa terkait konsep pengelolaan utang dalam anggaran negara.


Jika di Uni Eropa, utang dianggap kewajiban negara yang harus dibayar, maka dalam APBN pemerintah Indonesia justru memasukkan utang dalam pos penerimaan negara.


Mayoritas pemimpin negara Uni Eropa sepakat membentuk disiplin anggaran yang lebih ketat agar tidak ikut terjerumus krisis utang di zona euro.


Uni Eropa juga mewajibkan anggotanya untuk menerapkan undang-undang mengenai anggaran yang berimbang. Sebaliknya, pemerintah Indonesia hingga kini belum juga mengendurkan nafsu berutang.


Padahal, pertengahan tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya telah mengingatkan kepada tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu II untuk segera menyusun peta jalan percepatan menuju anggaran yang sehat dan berimbang.


Menurut Presiden, sekuat apa pun ekonomi sebuah negara kalau defi sitnya sangat tinggi, rasio utang terhadap GDP juga sangat tinggi dan terjadi sejumlah keseimbangan, maka ekonomi negara bersangkutan sebenarnya tidak aman sehingga dalam jangka panjang fundamentalmnya tidak kokoh.


Dani mengatakan dengan jumlah total outstanding utang hingga Januari 2012 mencapai 1.937 triliun rupiah yang terdiri atas utang luar negeri 615 triliun rupiah dan surat berharga negara (SBN) 1.322 triliun rupiah, sebenarnya secara riil telah menimbulkan beban pembayaran yang sangat berat dalam APBN.


Dia menambahkan upaya pemerintah membayar utang setiap tahun, baik cicilan pokok maupun bunga, sesungguhnya telah menimbulkan pengorbanan yang besar dari rakyat. Pasalnya, hal itu mengakibatkan pengurangan alokasi belanja untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.


Perbuatan Tercela


Dani menegaskan salah satu perbuatan tercela yang diwariskan oleh para elite politik, yakni DPR dan pemerintah, adalah mewariskan beban utang bagi generasi yang akan datang.


"Sampai kapan rakyat dipaksa menanggung beban utang hasil perbuatan tidak bermoral para elite yang mengkhianati rakyat sendiri. Dalam pengertian membuat perjanjian utang dengan cara penyerahan kedaulatan bangsa dan untuk memperkaya diri sendiri," imbuh dia.


Oleh karena itu, kata Dani, pihaknya mengusulkan agar pemerintah menempuh upaya pengurangan atau penghapusan beban utang, khususnya warisan utang rezim otoriter Soeharto di masa lalu. Penghapusan utang itu jelas akan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemandirian ekonomi nasional.


Sebab setiap tahun akan tersedia dana sekurang-kurangnya 200 triliun rupiah hasil realokasi pembayaran utang untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan kesehatan. lex/nig/yok/WP